Pagi itu, suaminya tak pergi bekerja seperti biasanya. Proyek pembangunan tempat suaminya bekerja dihentikan sementara karena kekurangan biaya. Jadi, suaminya berencana ke terminal untuk mengais rejeki sebagai kuli angkot sambil berharap hasilnya cukup untuk mengisi perut delapan orang hari ini. Di dapur Sari merasa sesuatu yang menakutkan. Sudah beberapa waktu ini dia tak datang bulan. Dari pengalaman bertahun-tahun, Sari tahu bahwa ia sedang hamil. Dalam hati kecilnya dia bahagia dengan kehamilan yang tak direncanakan ini. Tapi sekaligus dia merasa sedih dan bingung. Kehamilan ini membawa sejuta persoalan bagi dirinya. Dia menatap anak-anaknya yang sedang berlarian di halaman. Dilihatnya lekat-lekat wajah-wajah tak berdosa itu. Betapa wajah-wajah itu seakan mengutuknya untuk segala penderitaan dan kemiskinan yang mereka terima dalam hidup ini. Betapa Sari menyalahkan dirinya yang telah membawa enam kehidupan dalam sebuah kesusahan tanpa akhir. Samar-samar Sari mengingat setiap momen kelahiran anak-anaknya. Dia bahagia tapi sekaligus bersedih dan merasa bersalah. Pada awalnya rasa bersalah itu hanya ditepis dan dikuburnya dalam-dalam, tapi lama kelamaan, seiring dengan pertumbuhan usia anak-anaknya, rasa bersalah itu seolah menggelembung dan siap meledak. Sempat terpikir olehnya bahwa mungkin lebih baik anak-anaknya tak lahir sama sekali daripada harus menderita seperti sekarang. Tapi anak-anaknya begitu lucu saat masih bayi, apakah dia dapat begitu saja menghapus kenangan itu. Apakah dia akan berbuat kebaikan dengan tidak melahirkan anak yang sedang dikandungnya sekarang. Kebaikan untuk dirinya dan keluarganya maupun bagi anak itu sendiri. Kan setidaknya anak itu takkan tumbuh dalam penderitaan kemiskinan. Tapi Sari telah merasakan gerakan-gerakan kecil dalam rahimnya, dan bagaimana dia dapat menghilangkannya begitu saja. Kini Sari berada di persimpangan. Aborsi atau tidak??Hidup atau Mati??
Beberapa hari yang lalu seorang teman menulis dalam status facebooknya “too much love will kill you.”. Sebenarnya tak ada latar belakang filosofis di balik penulisan status itu, sahabatku hanya ber-iseng-iseng ria. Tak disangka keisengannya itu membawa hasil juga. Beberapa teman memberi komentar tentang statusnya itu, baik itu komentar serius maupun tak kalah isengnya. Suatu hal yang menarik bagaimana terjadi suatu paradoks seperti ungkapan di atas. ”Terlalu banyak cinta bisa membunuhmu”. Terbersit kesan lucu dalam ungkapan itu dan sedikit sarkastik menurutku. Terkesan lucu karena ungkapan tersebut apabila (tentu saja) tidak merujuk ke perbuatan membunuh yang sebenarnya. Bukan pembunuhan fisik yang notabene merupakan perbuatan pidana dan patut dihukum. Kurasa ungkapan ini memiliki artian bahwa cinta seseorang terhadap orang lain seringkali membunuh semua kebebasan pribadi orang yang dicintai atau mungkin juga berarti bahwa jika seseorang terlalu mencintai orang lain dengan berlebihan pada akhirnya cinta itu akan membuat yang mencintai itu menderita. Entahlah..mungkin masih ada arti lain lagi dalam ungkapan tersebut. But anyway.. anyhow, ungkapan ini membuat ku berpikir tentang kisah Sari. Sari sangat mencintai keluarganya. Dia sangat mencintai anak-anaknya. Cintanya itu membawa dilema bagi dirinya. Di satu sisi dia ingin anaknya lahir dan hidup, namun di sisi lain kemiskinan mendesaknya membuat keputusan yang berbeda, yaitu aborsi. Dan jika ia memilih untuk aborsi atas nama ‘cinta’, secara harafiah bisa dikatakan “too much love will kill you”. Tapi benarkah aborsi bisa disebut sebagai perbuatan cinta???
Beberapa orang menyatakan bahwa aborsi adalah tindakan belas kasihan yang merupakan ekspresi ‘cinta’ terhadap anak, sehingga si anak tak harus menderita hidup dalam ketertolakan. Dalam kasus-kasus seperti yang terjadi pada Sari, aborsi atas nama ‘cinta’ sering terjadi. Ada kecenderungan untuk membenarkan bahwa tak mengapa seorang perempuan mengaborsi kandungannya apabila dia tak sanggup menghidupi anaknya itu supaya anaknya tak menderita. Memang tampaknya terpuji. Tapi arti yang sebenarnya dari itu adalah bahwa apabila seorang anak terlalu mahal untuk dibiarkan hidup lebih baik dia tak dilahirkan sama sekali. Hahhhh???? Sejak kapan penentuan hidup dan mati seseorang ditentukan dengan mahal dan murah?? Seorang anak dalam kandungan bukanlah barang. Meskipun dia masih hidup ‘menumpang’ dalam tubuh ibunya, dia juga sama hidupnya dengan manusia lainnya.
Alasan-alasan yang dipakai untuk membenarkan aborsi karena kemiskinan ini dipilih dangan hati-hati dan dibuat dengan bahasa yang semanusiawi mungkin, sehingga mengaburkan apa yang menjadi pokok permasalahannya. Padahal dalam aborsi, pokok pembahasan yang harus kita fokuskan adalah masalah hidup dan mati seorang manusia. Masalah ekonomi atau ketidakmampuan finansial tak ada kaitannya dengan ini. Tapi seringkali apa yang tidak berkaitan malahan menjadi penyebab utama.
Terdapat berjuta-juta anak-anak yang hidup dalam kemiskinan. Tapi tak ada manusia yang berpikiran bahwa mereka harus dihapuskan dari muka bumi ini karena kita tak sanggup membiayai mereka lagi, bukan?! Begitu juga dengan bayi dalam kandungan atau anak-anak yang belum lahir. Semiskin apapun kenyataan yang menanti mereka tak ada alasan untuk seorang pun utnuk mengakhiri hidup mereka sejak dalam kandungan. Jalan keluar dari kemiskinan bukanlah aborsi. Kemiskinan takkan terselesaikan dengan kemiskinan dan aborsi tidaklah meringankan penderitaan karena kemiskinan, tapi justru aborsi hanyalah menambah satu lagi beban pikiran dan mimpi buruk serta penyesalan.
Seorang anak adalah anugerah yang luar biasa dari Tuhan dan bukanlah beban. Tuhan telah memperhitungkan secara detil dimana dan siapa yang akan menjadi orang tua seorang anak. Tuhan telah memperhitungkannya dengan mempertimbangkan baik buruknya darui berbagai sisi, dan tak ada maksud dari Sang Pencipta untuk menyusahkan siapapun dengan kehadiran seorang anak. Dalam setiap kelahiran, seorang anak telah dilekatkan suka cita bagi orang tuanya dan orang-orang disekitarnya.
Apabila orang tua merasa terbeban ataupun disusahkan dengan kelahiran seorang anak, anak tersebut masih bisa hidup dan jika orang tuanya mau bisa diserahkan untuk diadopsi keluarga lain yang lebih mampu ataupun meminta bantuan kepada lembaga-lembaga yang berkompeten untuk membantu dalam masalah ini. Tapi, jangan jadikan aborsi jalan keluarnya, karena aborsi bukan jalan keluar. Jangan sampai memilih pilihan ceroboh yang membawa penyesalan seumur hidup.
Hmm..aku sungguh berharap dan berdoa bahwa Sari dan perempuan-perempuan lain dalam situasi yang sama di luar sana bisa memilih hal yang terbaik bagi anaknya dan dirinya sendiri yaitu dengan memberikan hadiah terindah bagi anaknya....Sebuah Kehidupan.
0 komentar:
Post a Comment