"Our lives begin to end the day we become silent about things that matter" Dr. Martin Luther King Jr

places of her heart

Child Unwantedness

March 4, 2009

Pokoknya kamu harus gugurin kandungan itu, kalo nggak, kamu gak dianggep sebagai anak ayah lagi. Dan kamu harus keluar dari rumah ini!!!!!!!!!!!”

“Apa kata tetangga kalo tahu kamu hamil di luar nikah? Mau ditaruh dimana muka ibu? Ibu gak mau tahu kamu harus gugurin kandunganmu! Ingat kehormatan keluarga!Jangan mencoreng nama keluarga kita!”

”Lebih baik aku mati daripada melahirkan anak ini tanpa ayah. Aku harus gugurin anak ini! Lagipula ayahnya hanyalah seorang pemerkosa. Tak sudi aku mempunyai anak dari seorang pemerkosa.”

Sounds familiar?! Biasanya kalimat-kalimat ini terdengar hampir di setiap sinetron kejar tayang yang sekarang sedang menjamur di TV Indonesia. Apa yang terpikirkan saat anda mendengar perkataan-perkataan ini?? Terus terang pertama kali mendengarnya, reaksi paling awalku adalah syndrom ”Emang Gue Pikirin”, Hey.. I really don’t care.. It’s non of my business and it’s just a television movies after all. Aku tidak mau memikirkan ataupun merenungkan hal itu dengan lebih mendalam, karena sepertinya itu adalah hal yang berlebihan jika aku memikirkannya terlalu serius.
But, gimana kalo hal-hal seperti ini benar-benar terjadi di kehidupan kita sehari-hari. Yup..di kehidupan nyata. Aku kira sebagian dari kita tahu bahwa kejadian seperti itu juga terjadi di sekitar kita, tentu saja dengan variasi ceritanya sendiri. So, apa reaksi kita? Apakah kita akan bersikap masa bodoh seperti halnya saat kita menonton sebuah sinetron? Well, apakah itu kisah sinetron maupun kisah nyata, ada persamaan dari semua kisah-kisah itu, yaitu bayi yang tidak diinginkan.

Pernah dengar "Every Child a Wanted Child?” Artinya kira-kira “Semua Anak Adalah Anak Yang Diinginkan”. Kedengaran manis, bukan?! Memancarkan banyak cinta (sepertinya...). Tapi, benarkah begitu??. Apakah anda tahu bahwa konsekuensi dari slogan di atas adalah agar setiap anak-anak yang tidak diinginkan agar tidak dilahirkan sama sekali, dengan argumen untuk menghindari penderitaan yang mungkin timbul dari kelahirannya itu. Kedengaran mulia juga, kan?! Jadi, bagaimana dengan anak-anak hasil perkosaaan atau anak-anak di luar nikah yang masih dalam rahim ibunya?? Mereka adalah anak-anak yang tidak diinginkan. Apakah mereka juga tak usah dilahirkan? Diaborsi? Dengan kata lain kehidupan makhluk kecil itu direbut darinya pada tahap hidupnya yang paling rentan, saat dia belum bisa berteriak dan membela haknya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa konsekuensi dari masalah ”Diinginkan” ataupun ”Tidak” seorang anak adalah Aborsi a.k.a KEMATIAN.

Lebih baik mati daripada tidak diinginkan sama sekali, merupakan suatu argument yang sangat sangat salah. Aborsi bukanlah masalah Dinginkan atau Tidaknya anak itu dan bukanlah masalah Pilihan. Aborsi adalah masalah hidup dan mati. Bagaimana mungkin kita mengambil keputusan mengenai hidup dan mati seseorang hanya berdasarkan kesukaan kita atau tidak dengan orang itu. Hal yang sama terjadi dengan para tunawisma dan pengemis yang tinggal di jembatan ataupun emperan pertokoan. Kalaupun kita tidak menyukai mereka tapi ketidaksukaan itu tidak memberikan hak kepada kita untuk membunuh mereka. Tidak ada seorang pun di muka bumi ini berhak mencabut nyawa manusia lain. Termasuk hidup bayi ataupun janin dalam rahim. Bahkan walaupun bayi itu merupakan hasil perkosaan. Dalam perkosaan yang bersalah adalah si pelaku perkosaan dan bukanlah anak hasil perkosaan. Ia tak dapat memilih dengan cara apa dia hadir dan siapa ayah ibunya. Bayi atau janin sama hidupnya dengan kita sejak awal pembuahan. Jadi, apa yang membedakan aborsi dengan pembunuhan?

Yang harus diingat adalah Masalah Aborsi bukanlah permasalahan Suka atau Tidak, Ingin atau Tidak terhadap seorang anak. Hal mana yang dapat kita pahami merupakan penilaian yang sangat subyektif. Aborsi merupakan masalah kemanusiaan. Ketidakinginan orang tua terhadap kehadiran seorang anak bisa dicari jalan keluarnya. Saat ini terdapat banyak keluarga yang sangat merindukan orang tua tapi belum dikaruniai anak secara biologis. Betapa piciknya jika kita mencabut nyawa seorang anak yang tidak bisa memilih bagaimana cara dia hadir di dunia ini hanya dengan alasan-alasan moral seperti rasa malu dan kehormatan. Nyawa seorang manusia bernilai lebih dari seluruh bumi dan isinya.

Ketidaksukaan terhadap kehadiran seorang anak tidak bisa memungkiri bahwa anak itu sejak dari awalnya telah ditentukan untuk lahir di keluarga mana dan bagaimana. Bahkan sebelum terbentuk dalam rahim ibunya masa–masa hidupnya telah dituliskan dalam buku kehidupan oleh Sang Pencipta. Jadi, suka atau tidak, diinginkan atau tidak, seorang anak memiliki hak yang sama untuk hidup. Dan orang tuanya, dalam hal ini, ibunya tidak mempunyai hak untuk mengaborsi. Ingat, ini bukan masalah pilihan. Sang ibu tak memiliki hak untuk membunuh anak yang dikandungnya apabila anak yang dikandungnya tidak diinginkannya. Mereka mempunyai hak yang sama untuk hidup dan satu sama lain tak bisa saling mengedepankan haknya sendiri dengan mengorbankan hak yang lainnya.

Ketidak inginan atau ketidak sukaan bukanlah suatu ukuran nyawa seseorang. Coba pikirkan betapa besarnya ketidakadilan yang terjadi saat nyawa dinilai dengan penilaian yang subyektif. Sudah saatnya untuk memikirkan dan merenungkan hal ini. Karena ini bukan hanya sekedar tema sinetron. Ini nyata. Jadilah peduli!!!

“Nothing in all the world is more dangerous than sincere ignorance and conscientious stupidity.” Martin Luther King Jr.

0 komentar:

Post a Comment